Kamis, 05 April 2012

Konseling Eklektik & Integratif A. Perspektif Historis Eklektisme (eclectism) adalah pandangan yang berusaha menyelidiki berbagai sistem metode, teori, atau doktrin,yang dimaksudkan untuk memahami dan bagaimana menerapkannya dalam situasi yang tepat. Eklektiksme berusaha untuk mempelajari teori-teori yang ada dan menerapkannya dalam situasi yang dipandang tepat. Pendekatan konseling eklektik berarti konseling yang di dasarkan pada berbagai konsep dan tidak berorientasi pada satu teori secara eksklusif. Eklektisme berpandangan bahwa sebuah teori memiliki keterbatasan konsep,prosedur, teknik. Karena itu eklektisme “dengan sengaja” mempelajari berbagai teori dan menerapkan sesuai keadaan rill klien. Konseling eklektik dapat pula disebut dengan pendekatan konseling integratif. Perkembangan pendekatan ini dimulai sejak tahun 1940-an, yaitu ketika F.C.Thorne menyumbangkan pemikirannya dengan mengumpulkan & mengevaluasi semua metode konseling yang ada. Brammer & Shostrom (1982) sejak 1960 mengembangkan model konseling yang dinamakan “actualization counseling” & telah membawa konseling ke dalam kerangka kerja yang luas, yang tidak terbatas pada satu pendekatan tapi mengupayakan pendekatan yang integratif dari berbagai pendekatan, dan pada akhir 1960-an hingga 1977, R.Carkhuff juga telah mengembangkan konseling eklektik, dengan melakukan testing & riset secara komperhensif, sistematik, & integratif. ahli lain yang turut membantu perkembangan konseling eklektik di antaranya G.Egan (1975) dengan istilah Systemic helping, prochaska (1984) dengan nama Integrative eclectic. Menurut pandangan Shertzer & Stone dalam buku Fundamentals of Counseling, konseling eklektik sebagaimana dikonsepsikan oleh Trone, mengandung: • Unsur Positif diantaranya usaha menciptakan suatu sistematika dalam memberikan layanan konseling: • Unsur Negatif diantaranya menjadi mahir dalam penerapan satu pendekatan konseling tertentu cukup sulit bagi seorang konselor. Capuzzi dan Gross (1991) mengemukakan bahwa dalam penerapannya terdapat 3 aliran Konseling yaitu: •Formalisme atau Puritisme Penganut formalisme akan “menerima atau tidak sama sekali”sebuah teori . seluruh kerangka teoritiknya secara bulat tanpa ada kritik sedikitpun. Teori yang tidak disetujui akan ditolak keseluruhannya. Dengan demikian penganut formalisme akan menerima apa adanya tanpa kritik. •Sinkertisme Pandangan ini beranggapan bahwa setiap teori adalah baik, efektif & positif. Kalangan sinkertisme menerapkan teori-teori yang dipelajari tanpa perlu melihat kerangka & latar belakang teori itu dikembangkan. Penganut sinkertisme akan mencampur adukan teori yang satu dengan teori lain sesuai dengan kehendak sendiri. •Eklektisme Penganut pandangan eklektik akan menyeleksi berbagai pendekatan yang ada. Prinsipnya setiap teori memiliki kelemahan dan keunggulan. Suatu teori dapat diterapkan sesuai dengan masalah klien dan situasinya. Konselor menyeleksi teori-teori yang ada & membawa kedalam kerangka menyeleksi teori-teori yang ada & membawa kedalam kerangka kerja prinsip-prinsip teoritik & prosedur praktis. Kecocokan antara masalah dengan pendekatan yang digunakan merupakan pertimbangan utama konselor dalam menetapkan jenis pendekatan apa yang hendak digunakan. Oleh karena itu konselor eklektik semestinya memahami berbagai pendekatan dan memiliki kemampuan untuk menerapkannya dalam situasi yang diharapkan . Penganut eklektik menyatakan bahwa fleksibilitas dalam menggunakan kerangka teori sangat penting. Konselor eklektik tidak masalah dengan konseling psikoanalisis, yang berpusat pada person, rasional emotif behavioral, maupun behavioral. Pendekatan eklektik ini sangat ilmiah, sistematik, dan logis. Konselor tidak perlu terikat dengan salah satu teori. Dalam pendekatan eklektik konselor menjalankan konseling secara sesuai dengan situasi kliennya. Mereka tidak bekerja secara serampangan, emosional, popularitas,interes khusus,ideologi atau atas kemauan dirinya sendiri. Lebih dari itu pendekatan eklektik itu sendiri secara konstan berkembang dan berubah sesuai dengan ide, konsep dan teknik serta hasil-hasil riset mutakir. Eklektik mempunyai sejumlah Asumsi Dasar berkaitan dengan proses konseling. Asumsi dasar itu adalah: 1. Tidak ada sebuah teori yang dapat menjelaskan seluruh situasi klien. 2. Pertimbangan profesional/pribadi konselor adalah faktor penting akan keberhasilan konseling pada berbagai tahap konseling.  Menurut Gilland dkk (1984) asumsi yang telah disebutkan ditunjang oleh kenyataan berikut : 1. Tidak ada dua klien/ situasi klien yang sama 2. Klien adalah pihak yang paling tau problemnya 3. Kepuasaan klien lebih di utamakan diatas pemenuhan kebutuhan konselor 4. Konselor menggunakan keseluruhan sumber professional dan personal yang tersedia dalam situasi pemberian bantuan (konseling) 5. Konselor dan proses konseling dapat salah dan dapat tidak mampu untuk melihat secara jelas atau cepat berhasil dalam setiap konseling atau situasi klien 6. Secara umum,efektivitas konseling adalah proses yang dikerjakan “dengan” klien bukan “kepada” atau “untuk” klien. 7. Kepuasan klien lebih diutamakan diatas pemenuhan kebutuhan konselor. 8. Banyak perbedaan pendekatan yang strategis berguna bagi konseptualisasi dan pemecahan setiap masalah. Mungkin ini bukan pendekatan atau strategi terbaik. 9. Banyak masalah yang kelihatan sebuah dilema yang tidak dapat dipecahkan dan selalu ada bebagai alternatifnya. Untuk beberapa alternative itu adalah terbaik bagi klien tertentu dan tidak bagi klien yang lain. Berangkat dari asumsi dan fakta ini maka konseling elektik tidak mendukung dan secara eksekulsif mengikuti teori tertentu. Eklektik di dasarkan pada prinsip umum untuk memahami dam memprediksi tingkah laku klien dan menggunakan teori dan strategi serta teknik konseling sesuai dengan situasi nyata. B. Karakteristik Ketika pendekatan eklektik pertama kali di gunakan istilah eklektik didenifisikan secara simple dalam bentuk penggunaan lebih dari satu pendekatan untuk menangani masalah konseli. Golongan kedua disebut kelompok eklektik yang malas ( lazy eclectism), yakni yang hanya menggunakan berbagai metode intervensi secara bersama- sama tanpa logika yang benar. Guna melawan lazy eclectism atau syncretisme para ahli telah mengembangkan suatu pendekatan eklektik dan integrative yang sistematis dan logika. Diantara pendekatan ini adalah adalah teori multimodal dari Lazarus,konseling perkembangan (DCT) dari Ivey, konseling adaptif (ACT), konseling modal TFA (pikiran, perasaan, tindakan),konseling sistematis dari Beutler dan consoli, dan konseling perilaku – psikodinamik integratif yang dikembangkan oleh Wachtel. Pendekatan eklektik itu sendiri dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis, yakni : eklektik tanpa teori, eklektik dengan pendekatan faktor umum, eklektik teknik, dan elektik integrasi teoretis. Kombinasi beberapa teori yang banyak dikanakan : 1). Konseling perilaku- kognitif ; 2). Konseling kognitif – humanistik ; dan 3). Konseling kognitif- psikoanalistik. Para praktisi yang terbuka pada pendekatan integrative akan dapat menemukan bahwa beberapa teori memainkan peran yang krusial dalam pendekatan konseling pribadi mereka. Setiap teori memiliki kontribusi yang unik pada praktik. Dengan mengakui bahwa setiap teori memiliki kelebihan dan kekurangan, para praktisi memiliki alasan atau beberapa landasan untuk mengembangkan suatu teori yang cocok untuknya ( self theory). Pengembangan suatu pendekatan inregratif merupakan suatu proses yang panjang yang selalu diasah melalui pengalaman - pengalaman . C.Beberapa Model Pendekatan Eklektik dan Integratif Konseling kognitif-perilaku merupakan satu contoh yang paling jelas dari pendekatan konseling yang menggunakan pendekatan eklektik yang integratif dan sistematis.Berikut akan dikemukakan secara singkat model-model tersebut. 1. Teori Multi Modal dari Lazarus Ahli paling terkenal dalam pengembangan pendekatan Multimodal adalah Arnold Lazarus. Lazarus sendiri dikenal sebagai ahli dari perspektif kognitif perilaku. Pada awalnya, Lazarus memperkenalkan pendekatan ini melalui beberapa tulisanya pada sekitar awal tahun 1970-an, Terutama melalui dua bukunya yang masing-masing berjudul : Multimodal behaviour therapy(1976) dan The Practice of Multimodal Therapy (1981). Dalam teori ini Lazarus memegang keyakinan bahwa suatu program perlakuan harus fleksibel dan serbaguna, ditarik dari berbagai macam pendekatan. Bagi Lazarus, eklektisme adalah cara ideal untuk merencanakan suatu perlakuan. Para konselor dapat meminjam teknik-teknik dari orientasi teori lain berdasarkan pada bukti-bukti empiris yang mendukung keefektifanya. Konseling multimodal merupakan suatu sistem yang mengintegrasikan teori-teori dan intervensi dan bukan sekedar a self-contained theory. Pendekatan ini berakar pada behaviourism, namun juga memasukkan konseling kognitif dan teori belajar sosial, disampoing pandangan humalistikyang mengakui bahwa individu adalah unit yang dapat mengarahkan dirinya sendiri. Pendekatan ini juga memberikan perhatian pada konteks, yang meliputi lingkungan budaya, politik, masyarakat dan fisik. Konseling Multimodal didasarkan pada suatu asesmen yang teliti terhadap konseli dan masalahnya. Untuk kebutuhan asesmen ini Lazarus (1981) telah mengembangkan suatu model yang dikenal dengan akronim BASIC I.D.. Jika dielaborasikan BASIC I.D. mengandung makna sebagai berikut :  B, akronim dari behavior (perilaku), yakni asesmen terhadap kebiasaan atau tinakan-tindakan konseli.  A, Akronim dari affect (emosi), yakni asesmen terhadap mood atau perasaan-perasaan konseli.  S, akronim dari sensation (sensasi), yakni asesmen terhadap perasaan tubuh, pengalaman sensorik konseli.  I, akronim dari images (imej), yakni asesmen terhadap fantasi, impian, ingatan, lembaran mental, dan pendangan konseli dirinya dan masadepanya.  C, akronom dari cognition (kognisi), yakni asesmen terhadap pikiran, keyakinan, filosofi, nilai, rencana, pendapat, insight, ide-ide, dan self-talk konseli.  I, akronim dari Interpersonal relationship (hunungan interpersonal, yakni asesmen terhadap persahabatan, hubungan intim, dan interaksi konseli dengan orang lain.  D, akrinim dari drugs (obat), yakni asesmen terhadap fungsi biologis, termasuk kesehatan umu, nutrisi, olahraga, dan perawatan kesehatan konseli. 2. Konseling Perkembangan dari ivey Konseling perkembangan-lengkapnya terapi dan konseling perkembangan (Developmental counseling and therapy) dan disingkat DCT – dikembangkan oleh Allenivey, Sandra Rigazio DiGillio, dkk. Seperti halnya konseling multimodal, DCT didasarkan pada berbagai sistem teori dan merekomendasikan penggunaan asasmen yang teliti untuk memperoleh perpaduan yang tepat antara karakteristik konseli dengan strategi intervensi. Pada dasarnya model ini lebih dari sekedar pendkatan eklektif tetapi lebih tepat dipandang sebagai integrasi teori karena model ini memiliki kerangka kerja teoritis sendiri. DCT merupakan suatu teori asesmen dan perlakuan yang terintegrasi sangat relevan dengan pemikiran-pemikiran postmodern. DCT didasarkan terutama pada tahapan-tahapan perkembangan kognitif dari Piaget dan berbagai orientasi teoritik yang digabungkan kedalam suatu metframework. DCT menggunakan asumsi bahwa manusia memiliki perspektif jamak (multiple) yang terus menerus berkembang. Berdasarkan teori perkembangan kognitif dari piaget, DCT mendorong perubahan dan pertumbuhan dengan cara memadukan strategi perlakuan dengan setiap perspektif dan orientasi perkembangan kognitif konseli. DCT juga memiliki akar pada filsafat dan psikologi karena ivey ternyata juga meminjam banyak pemikiran plato & hegel, disamping mengambil perspektif fenomenologis dalam memandang sifat dasar manusia. 3. Konseling perilaku-psikodinamik integratif Konseling perilaku-psikodinamik integratif merupakan penggabungan secara integratif antara prndekatan psikodinamik dan pendekatan perilaku. Model ini dikembangkan oleh Paul Wachtel. Watchel membantah apa yang disebut “Woolly mammoth view of development”, yakni suatu keyakinan bahwa pengalaman kanak-kanak awal menyebabkan pembekuan struktur intra psikis seperti halnya pakaian dari wool yang besar yang membeku didalam balok es. Malahan, ia menyatakan bahwa pengalaman kanak-kanak dapat menggerakkan siklus atau kecenderungan yang dipertahankan oleh perilaku atau sikap-sikap sekarang. Watvhel telah mengidentifikasi beberapa kesamaan atau kecocokan antara teori psikodinamik dengan teori perilaku dan memiliki keyakinan bahwa integrasi dari kedua teori tersebut akan memberikan perlakuan yang sangat berdaya guna (powerfull). Alih-alih jika masing-masing teori digunakan sevara sendiri-sendiri sebagai contoh ia telah mengidentifikasi kecemasan sebagai sasaran utama dari suatu sistem perlakuan integratif ini dan menyatakan bahwa, melalui kombinasi insight dan tindakan, secara berangsur angsur orang dapat diekspos dengan imej-imej dan fantasi-fantasi yang menaktukan dan kemudian belajar menanganinya dengan efektif. Pada awalnya watchel adalah seorang psikodinamik klasik dan yang kemudian menganjurkan bahwa konselor seharusnya mengambil suatu peran yang tegas dan aktif dalam proses perlakuan. 4. Model Konseling TFA Konseling model TFA (thingking, feeling, acting) dikembangkan oleh David Hutchin (1979). Pendekatan ini mendekatkan pada identifikasi pikiran, perasaann, dan tindakan sebagai operasi fundamental dalam fungsi manusia. Secara konseptual, model TFA dilaksanakan dengan prosedur berikut :  Mengintegrasikan secara konseptual pikiran, perasaan, dan tindakan sebagai dominan perilaku.  Mengakses interaksi antara dimensi perilaku TFA dalam situasi problema khusus.  Merancang suatu prosedur dan teknik untuuk mengungkap dan mendorong kekuatan konseli dan menangani keterbatasanya (Mueller, Dupuy & Hutchins, (1994) Asasemen merupakan suatu cornerstone dalam pendekatan ini seperti halnya dalam konseling multimodal dan DCT. Perlakuan diawali dengan mengakses determinasi orientasi TFA konseli. Asesmen ini dapat dilakukan dengan menggunakan inventori yang telah dikembangkan oleh Hutchins, yakni The Hutchin behavior Inventory. Jika konselor telah menetapkan kekuatan relatif dari pikiran, perasaan dan tindakan yang menentukan perilaku konseli, konselor dapat merancang strategi intervensi untuk menangani orientasi utama dan mengembangkan orientasi yang kurang ditekankan konseli. 5. Model kesiapan/konseling adaptif Konseling adaptif (adaptive counseling therapy/ACT) menggambarkan gaya konselor dalam dua dimensi: dukungan (support) dan arahan (direction). Kedua dimensi tersebut menghasilkan empat orientasi/gaya konseling berikut:  Pendekatan yang menekankan dorongsn: arahan rendah, dorongan tinggi;  Pendekatan yang menekankan pengajaran: arahan dan dukungan tinggi;  Pendekatan yang menekankan kepemimpinan: arahan tinggi, dukungan rendah;  Pendekatan yang menekankan pada pendelegasian: arahan dan dukungan rendah. Konselor berusaha memasangkan dengan cocok (matching) suatu pendekatan perlakuan dengan masalah dan kesiapan konseli. 6. Konseling Multikultural Konseling multikultural (Atkinson,kim, & caldwell: 1998) memberikan perhatian pada kebutuhan khusus dan latar belakang budaya konseli. Pendekatan ini memposisikan perilaku konseli sebagai produk dari berbagai macam budaya yang telah berinteraksi dengan dirinya. Model konseling multikultural memperhatikan tiga dimensi berikut:  Tingkat akulturasi, yakni rendah atau tinggi;  Lokus masalah, yakni internal atau eksternal; dan  Intervensi yang diperlukan, yakni pencegahan atau remidial Jika konseli telah diidentifikasi menurut tiga dimensi tersebut, konselor dapat memilih pendekatan atau strategi mana yang paling mungkin menjanjikan keberhasilan. 7. Model faktor umum Salah satu model dari pendekatan ini adalah REPLAN (relationship efficacy, practicing, lowering, activiting, dan new). Secara konseptual, pendekatan tersebut menyuarakan keyakinan bahwa suatu model perlakuan yang efektif harus memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:  Mengembangkan hubungan yang terapeutik yang positif  Meningkatkan self-esteem dan self-efficacy konseli  Mengajar dan mendorong konseli untuk mempraktekkan perilaku baru yang lebih adaptif  Menstabilkan gejolak emosional konseli  Mengaktifkan motivasi dan harapan konseli untuk berubah  Memberi konseli persepsi dan pengalaman belajar baru Contoh lain adalah model konseling ekletik sistematis, yang dimana menurut model ini, konselor harus melihat empat variabel dalam diri konseli: karakteristik konseli, konteks perlakuan, dimensi hubungan konselor-konseli, dan teknik atau strategi khusus. Teknik ini juga memandang, kualitas universal konselor berkaitan dengan hasi-hasil positif perlakuan dan mengaskan bahwa karakteristik tersebut mendasari semua program perlakuan. 8. Model tahap-perubahan Model ini menggunakan asumsi bahwa manusia berubah melalui tahapan-tahapan yang dapat diramalkan, termasuk ketika meraka sedang menjalani proses konseling. Transtheoritecal model model yang dikembangkan Prochaska dan kawan-kawan menggunakan asumsi bahwa perubahan akan terjadi melalui lima rangkaian tahapan berikut: kontemplasi awal, kontemplasi, persiapan atau preparasi, tindakan dan pemeliharaan. Seperti halnya model eklektik dan integratif yang lain, asesmen dan matching merupakan unsur yang esensial. Dalam model ini tahapan-tahapan perubahan konseli digunakan untuk mengidentifikasi yang paling mungkin untuk dapat membantu konseli mencapai perubahan tahap demi tahap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar