Jumat, 06 April 2012
Pengobatan Gangguan Perilaku Anak
DEFINISI
Gangguan perilaku ditandai dengan pola tingkah laku yang berulang dimana hak dasar orang lain terganggu. Meskipun beberapa anak lebih bertingkah laku baik dibandingkan dengan yang lainnya, anak yang berulangkali dan terus-menerus melanggar peraturan dan hak orang lain dimana dengan cara yang tidak sesuai dengan usia mereka memiliki gangguan perilaku.
Masalah tersebut biasanya dimulai pada masa kanak-kanak akhir atau awal remaja dan lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Penilaian pada perilaku harus melibatkan lingkungan sosial anak tersebut ke dalam catatan. Penyimpangan perilaku terjadi oleh anak sewaktu adaptasi dengan kehidupan di daerah peperangan, tempat kerusuhan, atau lingkungan lain dengan stress tinggi bukan gangguan perilaku.
GEJALA
Pada umumnya, anak dengan gangguan perilaku adalah egois, tidak berhubungan baik dengan orang lain, dan kurang merasa bersalah. Mereka cenderung salah mengartikan perilaku orang lain sebagai ancaman dan bereaksi agresif. Mereka bisa terlibat dalam pengintimidasian, ancaman, dan sering berkelahi dan kemungkinan kejam terhadap binatang.
Anak lain dengan gangguan perilaku merusak barang, khususnya dengan membakar. Mereka mungkin berdusta atau terlibat dalam pencurian. Melanggar peraturan dengan serius adalah biasa dan termasuk lari dari rumah dan sering bolos dari sekolah. Anak perempuan dengan gangguan perilaku lebih sedikit mungkin dibandingkan anak laki-laki untuk menjadi agresif secara fisik; mereka biasanya kabur, berbohong, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, dan kadangkala terlibat dalam pelacuran.
Sekitar separuh dari anak dengan gangguan perilaku menghentikan perilakunya ketika dewasa. Anak yang lebih kecil ketika gangguan perilaku mulai, lebih mungkin akan melanjutkan perilakunya. Orang dewasa yang tetap berperilaku seperti itu seringkali menghadapi masalah hukum, secara kronis mengganggu hak orang lain, dan seringkali didiagnosa dengan gangguan kepribadian anti sosial.
PENGOBATAN
Pengobatan sangat sulit karena anak dengan gangguan perilaku jarang memahami kesalahan apapun dengan perilaku mereka. Seringkali pengobatan yang paling berhasil adalah memisahkan anak tersebut dari lingkungan yang bermasalah dan menyediakan tempat yang diatur dengan ketat, apakah di yayasan kesehatan mental atau sosial anak-anak.
Bentuk-bentuk gangguan perilaku dapat ditinjau dari berbagai segi. Menurut Prayitno dan Amti (2005:46), bentuk-bentuk gangguan perilaku tersebut digolongkan ke dalam empat dimensi kemanusiaan, yaitu: dimensi individualitas, sosialitas, moralitas, dan religiusitas. Permasalahn dimensi individualitas, seperti prestasi rendah, motivasi belajar menurun, atau kesulitan alat pelajaran. Permasalahn dimensi sosialitas, seperti bentrok dengan guru, pendiam, sering bertengkar, sukar menyesuaikan diri, pemalu, penakut, kurang bergaul, kasar, dan manja. Permasalahn dimensi moralitas, seperti melanggar tata tertib sekolah, membolos, tidak senonoh, minggat, nakal, kasar, terlibat narkoba, atau terlambat masuk sekolah. Permasalah dimensi religius, seperti tidak melakukan salat atau perbuatan-perbuatan lain yang menyimpang dari agama yang dianutnya.
Menurut pendapat Dalyono (2001:265), “Bentuk-bentuk gangguan perilaku dapat dibagi menjadi dua sifat, yaitu perilaku regresif dan agresif.” Contoh-contoh bentuk gangguan perilaku yang bersifat regresif antara lain: suka menyendiri, pemalu, penakut, mengantuk, atau tak mau masuk sekolah, sedangkan bentuk yang bersifat agresif, antara lain: berbohong, membuat onar, memeras teman, dan prilaku-prilaku lain yang dapat menarik perhatian orang lain atau merugikan orang lain seperti mengganggu orang lain.
Seseorang yang cenderung suka mengganggu sesamanya memperlihatkan keadaan jiwa yang tidak stabil, kurang sehat, atau sedang dilanda kegelisahan. Dalam usaha membebaskan diri dari berbagai belenggu tersebut, ia tak menemukan cara lain selain melakukan perbuatan yang menyimpang seperti mengganggu orang lain disekitarnya.
Kecenderungan anak mengganggu sesama teman menunjukkan bahwa adanya ketidaksenangan serta ketidakpuasan si pelaku terhadap kondisi hidupnya. Misalnya, ia tidak menyukai sikap keras kedua orang tuanya, merasa dirinya tidak aman, di rumah atau di sekolah acapkali diganggu orang lain, tengah menghadapi masalah besar, atau tak mampu membalaskan dendamnya.
Orang-orang yang suka mengganggu, sesungguhnya haus kasih sayang dari orang tua. Sikap dan tindakan si anak dimaksudkan untuk menarik perhatian orang lain, atau demi melampiaskan dendam terhadap pengasuhnya. Bila mereka mendapat curahan kasih sayang, dan tak lagi merasa dikucilkan, niscaya segenap problem dan kesulitan yang mereka hadapi selama ini akan segera terselesaikan.
Di sekolah para pendidik juga menemukan bentuk-bentuk perilaku menyimpang, misalnya: mengganggu teman, sering bolos, malas, mengganggu kelas, bergaul bebas, atau tidak pernah membuat pekerjaan rumah (tugas-tugas dari guru). Jadi, peranan menyimpang yaitu sebagai bentuk perlawanan dari berbagai aturan yang telah ditetapkan di sekolah. Aturan-aturan tersebut bisa terdapat dalam tata tertib sekolah maupun aturan berbentuk penegakan moral (norma) dalam tatanan pergaualan sehari-hari yang biasanya dilakukan normal dan wajar, sehingga tidak akan terjadi penyimpangan perilaku terhadap norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Perilaku keagresifan sosial seperti mengganggu teman-teman yang lemah bertindak kasar, dan sering main pukul, suka berkelahi, merusak, pendendam, bermusuhan secara terang-terangan, sering melanggar aturan, pemarah. Bentuk perilaku ini bersifat agresif. Apabila ia bertindak, si pelaku tidak memandang belas kasihan.
Hasil penelitian Sheldon dalam Vembriarto (1997:51) menunjukkan bahwa “Banyak siswa nakal yang suka mengganggu orang-orang disekitarnya berasal dari keluarga yang bersikap menolak atau acuh tak acuh terhadap siswa.” Siswa-siswa nakal yang berasal dari keluarga yang bersikap menolak ini umumnya mempunyai sifat curiga terhadap orang lain dan suka menentang kekuasaan. Mereka tidak lagi terkesan oleh hukuman, karena sudah terlalu banyak mengalami hukuman dari orang tuanya.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa masalah kecenderungan anak suka mengganggu sesama teman, selain berkenaan dengan pengaruh pendidikan, juga berkenaan dengan pengaruh unsur-unsur kejiwaan, emosional, dan kondisi kehidupan.
Referensi:
Dalyono, M. 2001. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Prayitno dan Erman Amti. 2005. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
Vembriarto, ST. 1997. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Paramita.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar